Sabtu (8/1) selepas sholat Subuh, aku bergegas memacu motorku menuju tempat yang ditetapkan untuk berkumpul, Gerbang Terminal Damri Bogor. Lagi-lagi permohonan Hari Kikuk, sang komandan sUrCil, untuk datang tepat waktu pukul 05.00 WIB tidak bisa terpenuhi, aku terlambat. Wuih..ternyata dah banyak rekan-rekan yang berkumpul. “Sorry teman aku terlambat..” begitu pertama kali aku menyapa mereka. Mengetahui apa yang mereka bawa, aku tahu kalau sUrCil ini kelihatannya agak sedikit serius. Ada yang bawa GPS, kamera, dan peralatan tulis menulis, tidak seperti biasanya yang membawa karung buat mulung sampah. Rubby, salah satu penelusur, yang kesehariannya bekerja di Kementerian Kelautan dan Perikanan membawa seperangkat alat tangkap ikan kecil untuk mencari sample ikan, lengkap dengan bahan awetan spesimen basah. Sementara itu aku membawa teropong alias kĕkeran, iseng-iseng jikalau ada objek menarik sepanjang sUrCil kan lumayan buat penyegaran mata. Apalagi memang niatanku ingin hilangkan penat, maklum akhir-akhir ini lagi sedikit full. Sekian lama kemudian, tapi masih pukul lima lebih limapuluh lima waktu Indonesia barat, satu rombongan penelusur hulu Ciliwung sejumlah 13 orang bertolak menuju titik pendaratan pertama, kawasan Telaga Warna.
Telaga Warna, dalam banyak literatur, disebutkan sebagai pangkalnya, alias hulunya, Sungai Ciliwung. Kawasan hutan yang ditetapkan sebagai cagar alam (368,25 hektar) dan taman wisata alam (5 hektar) oleh pemerintah berada pada lketinggian 1.400 m dpl. Lokasinya yang berdekatan dengan jalur Jalan Raya Puncak membuat kawasan ini banyak dikunjungi wisatawan, terutama untuk menikmati eksotisme danau telaga warna. Hutan alami yang memanjang dengan tebing terjal di samping kanan, pohon puspa, saninten dan rasamala, pakis, liana, pisang monyet, lumut tebal menempel pada batang, seolah memperlihatkan ciri hutan pegunungan tropis alami. Sungguh berdaya magis dalam liputan kabut pagi di tepi telaga dengan gerombolan Macaca fascicularis yang mendekat dan sesekali berteriak menjaga wilayah mereka.
Meski singkat di Telaga Warna, aku sempat melihat Rhipidura phoenicura atau kipasan ekor-merah, burung endemik jawa dari keluarga sikatan ini didominasi warna coklat-merah bata mulai dari tubuh bagian tengah sampai dengan ekor. Sementara tubuh bagian tengah sampai kepala didominasi hitam dengan putih di bagian perut dan tenggorokan. Senang sekali melihat kembangan dan goyangan ekor kipas sembari berlompatan dari satu dahan ke dahan lainnya. Burung dengan sebaran terbatas pada pegunungan jawa ini dapat ditemukan pada ketinggian 1000-2500 m dpl. Selain kipasan, nyanyian nyaring Malacocincla sepiaria atau pelanduk semak terdengar jelas di sema-semak tepian hutan.
Hanya beberapa menit aku menikmati suasana hutan tropis ini, perjalanan mesti dilanjutkan menelusur lika-liku aliran air. Tidak ada metode baku, tidak ada panduan dalam penelusuran ini, pokoke jalan aja...gak ada target, sesampainya aja.. begitu tekad sederhana kami.
Lika-liku Ciliwung memang merefleksikan lika-liku kehidupan masyarakat yang dilaluinya. Tentu saja dengan kompleksitas persoalan hulu-hilir yang sering muncul. Bagaimana tidak, aliran sempit selokan Ciliwung yang kami temui di sekitar Telaga Warna, kemudian menjadi selokan buangan air limbah rumah tangga, sampai kemudian semakin lebar menjadi sungai, menjadi momok menakutkan bagi Jakarta karena terus-terusan mengirim banjir, melumpuhkan aktivitas ekonomi, kerugian milyaran rupiah pun tak terhindarkan.
Memasuki kebun teh, suasana mulai ramai dengan kicau tiga ekor Prinia familiaris atau prenjak jawa yang sedang bermain pada dahan kaliandra, seolah menyambut kedatangan tim penelusur yang masih kebingungan mencari aliran air. Tim menemukan daerah basah tergenang air, selang beberapa saat aliran air selebar kurang dari 1 meter mulai terlihat jelas mengalir di antara kebun teh mirip aliran selokan. Seekor Halcyon cyanoventris atau cekakak jawa meluncur tajam dari arah yang lebih atas sembari berteriak-teriak. Burung ini suka bersarang pada tebing-tebing sungai di sekitar rimbunan bambu. Sementara itu puluhan Collocalia esculenta atau walet sapi terbang tidak teratur berusaha menangkap serangga terbang pada areal terbuka kebun teh.
Gemericik aliran sungai Ciliwung makin keras terdengar dengan makin lebarnya badan sungai dan bebatuan yang membentuk riak-jeram kecil. Memasuki wilayah permukiman penduduk, dengan dominasi penggunaan sempadan sungai sebagai kebun campuran memberikan peluang untuk bisa menemukan lebih banyak burung. Terbukti, jenis-jenis burung khas pekarangan rumah dan kebun campuran mulai teridentifikasi seperti Aegithina tiphia cipoh kacat, Cacomantis merulinus wiwik kelabu, Pycnonotus aurigaster cucak kutilang, Lanius schach bentet coklat, Zosterops palpebrosus kacamata jawa, Dicaeum trochileum cabe jawa, Streptopelia chinensis tekukur biasa dan Lonchura leucogastroides bondol jawa serta tidak ketinggalan Passer montanus atau burung gereja. Pagi hari semakin bersemarak dengan kicau ramai burung-burung ini. Bahkan saat rehat, seekor burung pelatuk Dendrocopus macei atau caladi ulam berhasil teramati persis pada batang pohon dekat dengan sebuah villa mewah yang baru dibangun.
Penelusuran sempat terhenti sejenak karena hujan yang cukup besar. Namun karena sudah siap diri, tim penelusur menggunakan payung, jaket hujan, ponco, topi, bahkan hanya mengandalkan kantong kresek hitam untuk menutup kepala agar tidak kehujanan. Lanjuttt....
Penelusuran mulai sedikit menantang karena beberapa kali harus masuk ke dalam badan sungai. Jalan menuju aliran Ciliwung seringkali terhalang tembok-tembok villa sehingga tim penelusur kesulitan mengikuti alirannya. Pada kesempatan ini, beberapa kali dijumpai Motacila cinerea atau kicuit batu melompat di atas bebatuan di dalam badan sungai. Halcyon chloris atau cekakak sungai pun tidak luput dari bidikan teropongku. Yup... salah satu jenis burung dari keluarga Alcedinidae atau raja udang ini memang mencolok, sering bertengger pada dahan kering di areal terbuka, khususnya yang dekat dengan sumber air. Jenis ini empat kali tercatat selama penelusuran hari itu.
Pada dataran yang lebih tinggi, aku mencoba meneropong daerah perbukitan yang terlihat lebih hijau dan berhutan. Satu, dua, tiga...terlihat villa-villa baru yang sedang dibangun. Sementara itu, seekor Ictinaetus malayensis atau elang hitan melayang diatas bukit-bukit berhutan tersebut.
Rehat makan siang kami gunakan sebaik mungkin untuk isi “amunisi”, maklumlah tidak banyak dari kami yang sarapan pagi sehingga makan siang kali ini begitu nikmat dan bersemangat.
Aku tidak tahu pasti berapa kilometer yang sudah dilalui hari ini, namun informasi jarak lurus dari GPS menunjukkan 5 km, aku menduga kalau jarak sesungguhnya bisa tiga kali lipatnya. Dua hal yang menjadi catatanku selama penelusuran sehari itu adalah pertama bahwa persoalan Ciliwung tidak terlepas dari aspek penggunaan lahan dan perubahannya. Mulai dari Telaga Warna yang berupa hutan tropis alami penyerap dan penampung air hujan, berubah menjadi kebun teh, kemudian menjadi permukiman padat, kebun campuran, sawah, halaman depan villa, dan sarana objek wisata. Itu baru 5 km pertama, belum lagi kalau ditelusur sampai bawah. Permukiman padat, limbah industri, limbah rumah tangga, sampah, penyempitan badan sungai, dan segepok persoalan lainnya menanti di bagian tengah dan hilir. Kedua bahwa akumulasi sampah telah di mulai dari hulu sungai bahkan pada lokasi paling hulu sekalipun. Sampah ini terus terakumulasi, mengendap, mengalir mengikuti arus hingga ke hilir. Bukan hanya sampah dari permukiaman masyarakat, sampah juga berasal dari resort dan villa yang dibelah aliran Ciliwung.
Tidak banyak burung yang dapat dijumpai kali ini, dapat dikatakan bahwa sebagian besar jenis burung yang teramati adalah jenis umum yang sering kita temukan di sekitar kita. Hasmar, dkk. (2009) yang melakukan penelitian keanekaragaman jenis burung pada lima lokasi di bagian tengah-hilir Ciliwung menemukan 15-28 jenis burung di setiap titik pengamatan. Jenis umum yang sering ditemukan diantaranya tekukur, cucak kutilang, walet linchi dan tekukur. Sementara itu disebutkan bahwa Hernowo dan Prasetyo yang dua puluh enam tahun silam mengamati burung di Ciliwung menemukan jenis umum seperti kutilang, gereja, pipit, madu cabean, prenjak, cucak, walet, dan ciblek.
Faktor tutupan lahan diduga memengaruhi keberadaan jensi burung tertentu. Jika sungai dikelola dengan baik dimana tutupan vegetasi yang rimbun mengalir disepanjang sempadan sungai bukan tidak mungkin kali Ciliwung akan semakin asri dan menjadi rumah bagi aneka burung. Sambil memancing aneka ikan, tentu sangat indah kalau ditemani kicau beragam burung dengan keteduhan tajuk pepohonan.
Diskusi
Menurutku, kunci dari pengelolaan lahan sepanjang aliran sungai adalah bagaimana pengelolaan kawasan perlindungan sempadan sungai. dalam Kerpres No.32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, disebutkan bahwa sempadan sungai merupakan bagian dari kawasan perlindungan setempat. Dimana tujuan perlindungan sungai adalah untuk melindungi sungai dari kegiatan manusia yang dapat mengganggu dan merusak kualitas air sungai, kondisi fisik pinggir dan dasar sungai serta mengamankan aliran sungai. Sempadan Sungai sendiri diartikan sebagai kawasan sepanjang kiri kanan sungai, termasuk sungai buatan/kanal/saluran irigasi primer, yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi sungai.
Kriteria sempadan sungai adalah:
- Sekurang-kurangnya 100 meter dari kiri kanan sungai besar dan 50 meter di kiri kanan anak sungai yang berada diluar pemukiman.
- Untuk sungai di kawasan pemukiman berupa sempadan sungai yang diperkirakan cukup untuk dibangun jalan inspeksi antara 10 - 15 meter.
Penanaman berbagai jenis pepohonan bukan hanya akan memperbaiki kualitas lingkungan dan berperan dalam konservasi tanah dan air tetapi menambah nilai ekonomi jangka panjang pengelola lahan. Aneka jenis pohon tersebut dapat dipilih misalnya pohon buah, bambu, beringin, tanaman bebungaan, dan lainnya. Selain itu, bentuk kegiatan ekonomi lainnya perlu digerakkan seperti budidaya ikan dalam keramba di sepanjang aliran. Budidaya ikan dalam keramba tentu akan membutuhkan kualitas air sungai yang bersih dan tidak tercemar. Oleh karena itu diharapkan komitmen warga dalam memperbaiki dan menjaga kualitas sungai Ciliwung akan meningkat.
Dituliskan oleh M. Muslich
Referensi:
- Hasmar, R., Ruskomalasari, Alwi Khadafi, Hafid B. Prayoga, dan Lisa Apriyanti. 2009. Keberadaan Jenis Burung pada Lima Stasiun Pengamatan di Sepanjang DAS Ciliwung Depok-Jakarta. Vis Vitalis vol. 2 No. 2. Fakultas Biologi Universitas Nasional, Jakarta.
- gambar burung kipasan diunduh dari asalnya di sini
- gambar burung raja udang diunduh dari laman ini
4 Komentar:
kalau kerpres nya ada ngimana yaa cara untuk menegakan nya, sungaiku oh sungai ku nasib mu kini. apalagi memberantas villa ku kira ngak akan mampu tampa di tangkap calo perijinan nya. mentok kanan mentok kiri cah
ternyata burung2 di sekitaran aliran Ciliwung dari hulunya banyak juga yaa jenisnya. Tapi mereka harus berjuang keras utk hidup karena hutan makin habis digantikan bangunan2 mewah yg sebagian besar milik orang Jakarta .... hiks
Kasian tu Burung yaa Rumah nya di rampas. kalau rumah burung yang mewah di rambah teriak teriak ngak yaa burung nya atau mato'k gak he he he he he
Lebih banyak pohon, lebih banyak lagi rumah buat burung2 Ciliwung, selain sebagai benteng untuk mengurangi pengikisan top soil, erosi dan longsor akibat air hujan.
Posting Komentar