Senin, September 18, 2017

Sekedar "TAHU" Tanpa Menyadari (Plastik di Kehidupan Kita)

Share & Comment
Oleh: Arika Harmon 

"Ribet memang saat harus megangin kek ginian dari warung (botol plastik air kemasan), meskipun hanya warungnya di samping rumah. Namun itu setimpal dengan banjir di Pekanbaru ini yang disebabkan oleh penyumbatan saluran irigasi.", pikirku. 

Ketika aku di tepi keramaian yang mungkin lebih akrab dengan nama "pedesaan", aku merasakan begitu besar alam ini berkontribusi untuk menjaga di setiap sisi kehidupanku. Namun saat kaki kulangkahkan pada setiap keramaian, bermacam bencana besar yang aku saksikan hanya karena perbuatan kecil, misalnya penggunaan kantong plastik yang tidak beraturan.

Tidak seindah yang tertulis pada catatan ini, daerah-daerah pinggiran keramaian memang masih terjaga karena manusianya hanya sedikit, sedangkan di kota ramai. Artinya, pola hidup manusia ini telah terbentuk sedemikian "jahat" terhadap alam yang telah sepenuhnya melengkapi kebutuhan hidup. Jaman yang dikategorikan moderen malah "kuno" saat aku menilainya dari sudut pandang kemaslahatan umat. Bencana tiada lagi pernah menjadi alasan untuk memperbaiki diri, malah kezholiman yang semakin masif ditimpakan terhadap alam ini.

Sekedar tahu, tanpa menyadari. Begitu akrab statement demi statement penyebab kerusakan lingkungan yang mengakibatkan bencana itu (terdengar) di telinga. Sederhananya bahwa tumbuhan untuk bernafas, air untuk diminum, perbukitan yang butuh reboisasi, sampah yang sebabkan banjir, dan masih banyak pernyataan lainnya yang setiap orang telah sangat sering melafalkan itu.

Namun iplementasinya? Mereka tiada menerapkan itu. Kita sibuk dengan kebanggaan bahwa "aku" telah mengetahui, sehingga lupa untuk menyadari. Bahkan hanya membeli beberapa buah permen sekalipun meminta kantong plastik dan setelahnya sampah berserak di tiap pojokan perkarangan dan selokan. Tidak hanya itu saja, bahkan hulu sungai digundulkan, bukit didatarkan, sungai dicemari, laut direklamasi, seakan semua pertahanan bumi ini ingin kita lumpuhkan, dan kita merasa bisa hidup tanpa itu.

Aku menyadari ini tanggung jawab bersama, namun harus dimulai dari diri sendiri. Penyakit abai terhadap hal yang sifatnya penting dan memusnahkan ini telah berjalan dari dekade ke dekade. Telah begitu panjang rentang waktu kita terjebak pada kekeliruan ini. Tidaklah kita harus berhenti memakai kantong plastik, tidak harus berhenti menggunakan segala kebutuhan yang menimbulkan sampah non organik, tidak harus berhenti memakai besi, semen, listrik, perhiasan, dan segala kebutuhan yang berasal dari pengerukan bumi. Namun paling tidak minimalisirlah. Dan selalu pertimbangkan nilai manfaat dan mudhorot dari kemanjaan diri kita sendiri. 

Misalnya penggunaan kantong plastik atau wadah-wadah yang jika kita buang sembarangan akan sangat sulit terurai di tanah, mulailah kendalikan sampah dan pastikan terbuang pada tempatnya. Mulailah dari hal-hal yang kecil, toh itu demimu juga, demi keluargamu, demi keturunanmu kelak, dan demi bumimu yang sudah sakit ini.

Kebaikan itu tidak mengukur tentang siapa kita, tapi tentang apa yang bisa kita lakukan. Bukan tentang apa yang kita punya, namun tentang sejauh mana kita bisa ikhlas dalam berbagi.

Gantung cita-cita setinggi mungkin namun jangan lupa bersyukur pada capaian kecil yang kita raih pada prosesnya, itu progres yang patut dibanggakan. Jangan membebani diri dengan berharap setiap orang menyadari bahwa sampah penting untuk diperhatikan, namun lakukalah dari diri sendiri dan banggakan itu pada hatimu. Bahwa kamu berhasil memperbaiki diri, dengan harapan indah juga bisa dimulai oleh orang lain.

"Ini tentang paradigma bung, tentang tabi'at." Waktu panjang telah mengajarkan bahwa satu kantong plastik kecil itu tidah berpengaruh apa-apa terhadap alam, tanpa kita membayangkan bahwa telah sangat banyak orang yang berpikiran seperti itu. Sehingga punah alam lestari kita.

"introspeksi diri"

Sampah sisa konsumsi manusia, terlantar dan mencemari sungai. Lokasi: Sukaresmi-Kedunghalang, Kota Bogor.
(dok. KPC Bogor)

(Arika Harmon, relawan KPC Bogor, Anggota AMAN, berasal dari Pekanbaru - Riau) 



Tags:

Komunitas Peduli Ciliwung Bogor berdiri sejak Maret 2009. Komunitas yang menginginkan adanya rasa kepedulian terhadap keberlangsungan sungai Ciliwung di Kota Bogor. 

0 Komentar:

 

Artikel Populer

Tjiliwoeng on Facebook

Copyright © KOMUNITAS PEDULI CILIWUNG BOGOR | Designed by Templateism.com | Published by GooyaabiTemplates.com