Jika sebelumnya kami prediksi sebagai lokasi termudah untuk melakukan riset, maka hal itu adalah sebuah prediksi yang salah. Sungai dangkal dengan arus tenang, itulah dua hal yang semula terbayang dalam benak kami terhadap lokasi riset pagi hari ini, Kedung Badak, Minggu, 10 Mei 2009. “Tak terprediksi sbelumnya!!!”, kesanku setelah selesai melakukan pengukuran.
Sungai Ciliwung di kawasan Perumahan Kedung Badak Baru, disanalah tepatnya aktivitas kami berlangsung untuk melakukan pengukuran terhadap beberapa parameter hidrologi dan fisika sungai, pengambilan sampel air untuk analisa laboratorium, dan juga pengoleksian biota-biota yang menjadi indikator kualitas air sungai.
Setelah lama berkendara menggunakan motor, berputar di atas underpass, memasuki kawasan Perumahan Kedung Badak Baru, kemudian bergerak searah arus sungai menyusuri DAS Ciliwung, maka sampailah Aku dan Wildan pada lokasi yang telah ditentukan bersama saat survey sebelumnya, Minggu, 5 April 2008. Di tempat tersebut tampak sudah berkumpul Annas, Endah, Ubo, Habib, serta Ria dengan handycam dan tripod-nya, yang datang terlebih dahulu menggunakan angkutan umum.
Sedikit menjauhi rindangnya Pohon Loa yang tumbuh tinggi menjulang, berdiri di atas badan sungai yang terbentuk dari tumpukan batu-batu sungai seukuran bola pingpong hingga bola tennis, kami berkumpul, menaruh segala perlengkapan, lalu mempersiapkan semua peralatan riset. “Kita ga bawa tambang nih Kak”, kata Endah kepadaku. “Ga apa-apa, Ubo bawa tali rapia ko”, jawabku santai karena malam sebelumnya memang sudah ku-sms Ubo agar membawa tali rapia. “Bo, keluarin semua peralatannya!”, kataku pada Ubo. Dengan segera Ubo pun langsung mengeluarkan tali rapia, pH indikator, dan meteran dari dalam tas-nya.
Berbeda dibandingkan saat survey sebelumnya, kondisi air sungai pagi hari ini sedikit lebih tinggi. Hal ini dicirikan oleh keberadaan air yang menggenangi badan sungai tepat berada di belakang tempat kami berkumpul, dimana saat survey dilakukan, lokasi ini kering tak berair. Tak lama berselang setelah mengamati seluruh keadaan sekitar, tiba-tiba Annas memberikan informasi kepadaku, “Rub, tuh Habib tanya apa yang harus dikerjain katanya?”. “Nanti Bib, kita ukur kecepatan arus, kedalaman sungai, dan lebar sungai”, kataku sedikit menjelaskan pada Habib.
Tanpa briefing, akhirnya kami pun segera melakukan pengukuran terhadap parameter hidrologi dan fisik sungai, pangambilan sampel air, dan pengoleksian biota-biota indikator. Endah dan Ubo masing-masing kuposisikan untuk melakukan pengoleksian biota-biota indikator dan dokumentasi. “Endah tolong ambil bioindikator sebanyak-banyaknya, besok mau gw foto di Lab!, Ubo tolong foto-foto semua keadaan dan aktivitas disini (di tempat ini) !”, pintaku pada Endah dan Ubo. Di lokasi lain, tak jauh dari posisi Endah dan Ubo, Annas dan Ria sibuk mempersiapkan handycam dan tripod untuk pengambilan film, sedangkan Aku, Habib, dan Wildan segera mencari titik lokasi untuk melakukan pengukuran.
Setelah menentukan satu titik lokasi, Aku dan Habib segera bergerak menyebrangi sungai, sedangkan Wildan tetap di tempat. Masing-masing dari kami (Aku dan Habib) membawa pipa paralon sebagai alat pengukur kedalaman dan lebar sungai. Sebagai panduan garis lurus melintang di sungai, kami juga membawa tali rapia untuk diikatkan di sebrang sungai sedangkan ujung lainnya dipegangi oleh Wildan.
Langkah demi langkah, Aku dan Habib pun mulai menyebrangi sungai. Beberapa langkah pertama, perjalanan terasa sangat mudah dilalui. Namun, ketika posisi kami tepat berada di tengah-tengah sungai untuk menyelesaikan langkah kami menuju sebrang sungai, perjalanan sangat sulit dilalui. Arus deras terasa kuat mendorong tubuh kami hingga seringkali membuat kami terseret. Kulangkahkan perlahan kaki kiri dan kananku secara bergantian, ketika kuangkat kaki kiriku tuk melangkah, hantaman air membuat tubuhku berputar 90 derajat hingga kini Aku menghadap searah aliran air sungai Ciliwung, begitupun sebaliknya dengan kaki kananku. “Gila susah skali nih nyebrang disini!”, kataku dalam hati. “Wildan, kecepatan arusnya sama dengan stasiun 3 di Pulo Geulis!”, teriakku pada Wildan sebelum kuketahui kecepatan yang terukur sebenarnya.
Kecepatan arus minimal 1,11 m/s; maksimal 1,70 m/s; rata-rata 1,36 m/s; lebar sungai 31,3 m; sedangkan kedalaman minimal 10 cm; maksimal 80 cm; rata-rata 36,81 cm. Itulah data yang terukur di Kedung Badak, Minggu, 10 Mei 2009. Ternyata data kecepatan arus rata-ratanya lebih besar dibandingkan data di Pulo Geulis dan Kebun Raya yang masing-masingnya adalah 1,26 m/s dan 0,80 m/s.
Jika dikonversi kedalam debit rata-rata, berarti kecepatan rata-rata (m/s) dikali kedalaman rata-rata (m) dikali lebar sungai (m), maka jumlah air yang mengalir perdetik di sungai Ciliwung, di kawasan Perumahan Kedung Badak Baru, di satu titik lokasi pengamatan saat itu adalah sebesar 15,63 m3/s. Jadi kalau mau dikonversi lagi kedalam jumlah air di bak kamar mandi berukuran 1 m3, setidaknya sedikit kurang dari 16 buah bak mandi ukuran penuh tumpah secara bersamaan setiap detik-nya.
Karena kecepatan arus yang terasa sangat deras, akhirnya kami pun memutuskan hanya melakukan pengukuran pada satu titik lokasi saja. Sekitar kurang dari jam 11 siang, kami pun mengakhiri kegiatan riset dan pulang menuju Dramaga dengan cara menumpang mobil Mas Bowie. (“Hehe, jadi enak nih bisa riset ditemenin sama Mas Bowie”).***
Terima kasih kepada rekan-rekan HIMASPER, LAWALATA, dan juga Mas Bowie yang bergabung kedalam TIM RISET TJILIWOENG.
Sungai Ciliwung di kawasan Perumahan Kedung Badak Baru, disanalah tepatnya aktivitas kami berlangsung untuk melakukan pengukuran terhadap beberapa parameter hidrologi dan fisika sungai, pengambilan sampel air untuk analisa laboratorium, dan juga pengoleksian biota-biota yang menjadi indikator kualitas air sungai.
Setelah lama berkendara menggunakan motor, berputar di atas underpass, memasuki kawasan Perumahan Kedung Badak Baru, kemudian bergerak searah arus sungai menyusuri DAS Ciliwung, maka sampailah Aku dan Wildan pada lokasi yang telah ditentukan bersama saat survey sebelumnya, Minggu, 5 April 2008. Di tempat tersebut tampak sudah berkumpul Annas, Endah, Ubo, Habib, serta Ria dengan handycam dan tripod-nya, yang datang terlebih dahulu menggunakan angkutan umum.
Sedikit menjauhi rindangnya Pohon Loa yang tumbuh tinggi menjulang, berdiri di atas badan sungai yang terbentuk dari tumpukan batu-batu sungai seukuran bola pingpong hingga bola tennis, kami berkumpul, menaruh segala perlengkapan, lalu mempersiapkan semua peralatan riset. “Kita ga bawa tambang nih Kak”, kata Endah kepadaku. “Ga apa-apa, Ubo bawa tali rapia ko”, jawabku santai karena malam sebelumnya memang sudah ku-sms Ubo agar membawa tali rapia. “Bo, keluarin semua peralatannya!”, kataku pada Ubo. Dengan segera Ubo pun langsung mengeluarkan tali rapia, pH indikator, dan meteran dari dalam tas-nya.
Berbeda dibandingkan saat survey sebelumnya, kondisi air sungai pagi hari ini sedikit lebih tinggi. Hal ini dicirikan oleh keberadaan air yang menggenangi badan sungai tepat berada di belakang tempat kami berkumpul, dimana saat survey dilakukan, lokasi ini kering tak berair. Tak lama berselang setelah mengamati seluruh keadaan sekitar, tiba-tiba Annas memberikan informasi kepadaku, “Rub, tuh Habib tanya apa yang harus dikerjain katanya?”. “Nanti Bib, kita ukur kecepatan arus, kedalaman sungai, dan lebar sungai”, kataku sedikit menjelaskan pada Habib.
Tanpa briefing, akhirnya kami pun segera melakukan pengukuran terhadap parameter hidrologi dan fisik sungai, pangambilan sampel air, dan pengoleksian biota-biota indikator. Endah dan Ubo masing-masing kuposisikan untuk melakukan pengoleksian biota-biota indikator dan dokumentasi. “Endah tolong ambil bioindikator sebanyak-banyaknya, besok mau gw foto di Lab!, Ubo tolong foto-foto semua keadaan dan aktivitas disini (di tempat ini) !”, pintaku pada Endah dan Ubo. Di lokasi lain, tak jauh dari posisi Endah dan Ubo, Annas dan Ria sibuk mempersiapkan handycam dan tripod untuk pengambilan film, sedangkan Aku, Habib, dan Wildan segera mencari titik lokasi untuk melakukan pengukuran.
Setelah menentukan satu titik lokasi, Aku dan Habib segera bergerak menyebrangi sungai, sedangkan Wildan tetap di tempat. Masing-masing dari kami (Aku dan Habib) membawa pipa paralon sebagai alat pengukur kedalaman dan lebar sungai. Sebagai panduan garis lurus melintang di sungai, kami juga membawa tali rapia untuk diikatkan di sebrang sungai sedangkan ujung lainnya dipegangi oleh Wildan.
Langkah demi langkah, Aku dan Habib pun mulai menyebrangi sungai. Beberapa langkah pertama, perjalanan terasa sangat mudah dilalui. Namun, ketika posisi kami tepat berada di tengah-tengah sungai untuk menyelesaikan langkah kami menuju sebrang sungai, perjalanan sangat sulit dilalui. Arus deras terasa kuat mendorong tubuh kami hingga seringkali membuat kami terseret. Kulangkahkan perlahan kaki kiri dan kananku secara bergantian, ketika kuangkat kaki kiriku tuk melangkah, hantaman air membuat tubuhku berputar 90 derajat hingga kini Aku menghadap searah aliran air sungai Ciliwung, begitupun sebaliknya dengan kaki kananku. “Gila susah skali nih nyebrang disini!”, kataku dalam hati. “Wildan, kecepatan arusnya sama dengan stasiun 3 di Pulo Geulis!”, teriakku pada Wildan sebelum kuketahui kecepatan yang terukur sebenarnya.
Kecepatan arus minimal 1,11 m/s; maksimal 1,70 m/s; rata-rata 1,36 m/s; lebar sungai 31,3 m; sedangkan kedalaman minimal 10 cm; maksimal 80 cm; rata-rata 36,81 cm. Itulah data yang terukur di Kedung Badak, Minggu, 10 Mei 2009. Ternyata data kecepatan arus rata-ratanya lebih besar dibandingkan data di Pulo Geulis dan Kebun Raya yang masing-masingnya adalah 1,26 m/s dan 0,80 m/s.
Jika dikonversi kedalam debit rata-rata, berarti kecepatan rata-rata (m/s) dikali kedalaman rata-rata (m) dikali lebar sungai (m), maka jumlah air yang mengalir perdetik di sungai Ciliwung, di kawasan Perumahan Kedung Badak Baru, di satu titik lokasi pengamatan saat itu adalah sebesar 15,63 m3/s. Jadi kalau mau dikonversi lagi kedalam jumlah air di bak kamar mandi berukuran 1 m3, setidaknya sedikit kurang dari 16 buah bak mandi ukuran penuh tumpah secara bersamaan setiap detik-nya.
Karena kecepatan arus yang terasa sangat deras, akhirnya kami pun memutuskan hanya melakukan pengukuran pada satu titik lokasi saja. Sekitar kurang dari jam 11 siang, kami pun mengakhiri kegiatan riset dan pulang menuju Dramaga dengan cara menumpang mobil Mas Bowie. (“Hehe, jadi enak nih bisa riset ditemenin sama Mas Bowie”).***
Terima kasih kepada rekan-rekan HIMASPER, LAWALATA, dan juga Mas Bowie yang bergabung kedalam TIM RISET TJILIWOENG.
-Tim Riset Tjiliwoeng-
4 Komentar:
katanya jika arus deras memang bisa diartikan airnya dangkal. Semoga aksi kita tidak hanya dilihat dengan derasnya kita menceritakannya kembali, tetapi pengunjung poen dengan derasnya membantu menginformasikannya kembali ke semua teman dan saudara. Sekecil dan sedangkal apapun, kita pasti dapat mewujudkan mimpi kita akan sungai yang endah ini.
air beriak tanda tak dalam itulah yang di sebut pendangkalan. tapi kalau dangkal kayanga hewan-hewan kecil semakin keliatan dan tentunya risetnya semakin seruuuuuuuuuuuu........ eua dan lagi yang menemani ada generasi mudanya dan penerus bangsa kita nantinya asyik juga tuh kalau berenag di air yang dangkal. pastinya badanku sakit semua dan kayaknya perlu minum ramuan madura he he heh h hee heeeeeee hhhhh eeeeee.......,.,,,,,,,. salam kacong
Haibat euy Tjiliwoeng tertjinta ini poen. Semoea bergaboeng djahadi satoe, deras dan tenang, dangkal dan dalem ... agak sama rupanja dengan komoenitas kita jang beragam ini ... hehehe
Wow ....minimum 1.11 m/s di kedung badak, deras juga ya?.
Bagaimana kalau dipercepat menjadi V = 111 m/s, debit = 15.63 m3/s, BJ 1000 Kg/m, massa air = 15630 Kg/s, Potensi Daya Listrik = 0.5 x 15630 x 111^2 = 96,288,615 Watt, alias 96.28 MW, lumayan gede kan ??. Caranya mempercepat arus ?? ya bikin saja salurannya menjadi menyempit (luas penampang menjadi 1/100 x penampang awal. Gak percaya ??, buktikan saja sendiri.
Posting Komentar