lanjutan…
Kesehatan Mbah Tjiliwoeng“Jadi…, kondisi Mbah sekarang masih sama seperti kmarin-kmarin??? Memang ga ada perubahan Mbah??? Berarti cucu-cucu yang numpang hidup disisi kanan dan kiri Mbah, masih juga melempari tubuh renta Mbah dengan sampah-sampah???”, tanyaku heran dan geram. “Benar Cu, tapi ya…mau diapain lagi.., memang budaya mereka sudah begitu, sulit ‘tuk dirubah”, keluh Mbah Tjiliwoeng berusaha menahan segala beban di tubuhnya. “Sekarang, coba Cucu perhatikan tubuh Mbah ini, bukannya smakin bersih dari hari ke hari, malah spertinya smakin kotor saja!!!”, Mbah berusaha menunjukkan tumpukan-tumpukan sampah di tubuhnya. Pada akhirnya, aku pun hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala saja sembari berkata didalam hati, “memang benar “sulit” ‘tuk merubah budaya negatif…, tapi “sulit” itu bukan berarti hal yang mustahil kan Mbah???”, upayaku membesarkan hati dan tetap berusaha ‘tuk selalu melakukan yang terbaik.
“Lalu…, Mbah juga tadi mengeluhkan “batuk pilek” karena diguyur hujan deras 2 hari yang lalu (Jum’at, 1 Mei 2009) ya???”, tanyaku. “Memang benar Mbah, saat itu hujan memang deras sekali di Bogor”, lanjutku. “Sampai-sampai, Aku dan teman-temanku kesulitan ‘tuk menghadiri rapat Tim Riset karena kesulitan ‘tuk menuju lokasi rapat di sekret Lawalata IPB, Dramaga”. “Rapat yang dijadwalkan jam 19.00, akhirnya perlu kami “kalibrasi ulang” sampai +/- jam 20.30 tuk menunggu hujan reda”. “Untung saja Muslich Sang Koordinator Riset tetap semangat dan terus memotivasi kami ‘tuk tetap hadir pada rapat tersebut”. “Walaupun hanya dihadiri oleh kami berempat (Aku; Muslich; Annas; dan Aan), namun rapat masih dapat dikategorikan berjalan lancar, dengan agenda diskusi tentang “kondisi kesehatan” Mbah Tjiliwoeng di Pulo Geulis”.
Loh..., ini udah sampe Dramaga ya??? Kita balik ke Kebun Raya lagi yuk!!!"...hehe.
Arus deras, pohon tumbang, tumpukan sampah, bendungan, pagar pembatas, dan pepohonan lebat yang dikurungi pagar, itulah pemandangan bagian paling hilir Sungai Ciliwung di Kebun Raya Bogor. Setelah menaiki tembok-tembok beton bendungan, akhirnya kamipun kini harus rela kembali basah-basahan untuk turun dan menyebrangi sungai. Kami pegangi seluruh perlengkapan termasuk sandal, sepatu, tas, dan seluruh peralatan riset berusaha menjaga agar tidak kebasahan, turun perlahan, lalu berjalan memotong aliran sungai. Setelah kami berhasil menyebrangi sungai, tanpa membuang banyak waktu lagi, kamipun segera mempersiapkan semua peralatan yang meliputi: DO-meter; pH meter; tambang; tali rapia dengan botol aqua; tongkat ukur kedalaman; botol sampel; botol BOD; botol film; pinset; dan tak lupa Lembar Panduan Praktis Bioindikator Kualitas Air Sungai, yang kami fungsikan juga sebagai “alat penarik perhatian orang”...hehe, kayak "susuk" ya???
“Sebentar ya Mbah, kami coba periksa kondisi kesehatan Mbah dulu!!!”. “Coba buka mulutnya yang lebar Mbah...Aaaa…, tahan sebentar ya Mbah, kami coba ukur sekarang...!!!”. Tak lama berselang, akhirnya kondisi Mbah pada stasiun 1 pun berhasil kami ukur. “Ya, sudah selesai Mbah!!!, DO rata-rata Mbah 7,8; pH rata-rata 7,18; dan Suhu rata-rata 24,1 oC”. “Untuk lebar badan sungai 35,75 m; lebar sungai 20,9 m; kecepatan arus rata-rata 0,86 m/s; sedangkan kedalaman rata-rata sungai adalah 56,86 cm”.
“Sekarang, coba Mbah rebahkan badan supaya posisinya lebih rilek, kami mau coba ukur kondisi Mbah sedikit ke arah bagian kepala (stasiun 2)”. “Rilek dan tenang ya Mbah!!!”, kami berusaha mengarahkan. “Ya!!!, untuk bagian ini kondisi DO rata-rata Mbah 8,23; pH rata-rata 7,62; Suhu rata-rata 25,13oC; sedangkan untuk lebar badan sungai 38,36 m; lebar sungai 27 m; kecepatan arus rata-rata 0,75 m/s; dan kedalaman rata-rata sungai adalah 37,43 cm”.
Kesehatan Mbah Tjiliwoeng“Jadi…, kondisi Mbah sekarang masih sama seperti kmarin-kmarin??? Memang ga ada perubahan Mbah??? Berarti cucu-cucu yang numpang hidup disisi kanan dan kiri Mbah, masih juga melempari tubuh renta Mbah dengan sampah-sampah???”, tanyaku heran dan geram. “Benar Cu, tapi ya…mau diapain lagi.., memang budaya mereka sudah begitu, sulit ‘tuk dirubah”, keluh Mbah Tjiliwoeng berusaha menahan segala beban di tubuhnya. “Sekarang, coba Cucu perhatikan tubuh Mbah ini, bukannya smakin bersih dari hari ke hari, malah spertinya smakin kotor saja!!!”, Mbah berusaha menunjukkan tumpukan-tumpukan sampah di tubuhnya. Pada akhirnya, aku pun hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala saja sembari berkata didalam hati, “memang benar “sulit” ‘tuk merubah budaya negatif…, tapi “sulit” itu bukan berarti hal yang mustahil kan Mbah???”, upayaku membesarkan hati dan tetap berusaha ‘tuk selalu melakukan yang terbaik.
“Lalu…, Mbah juga tadi mengeluhkan “batuk pilek” karena diguyur hujan deras 2 hari yang lalu (Jum’at, 1 Mei 2009) ya???”, tanyaku. “Memang benar Mbah, saat itu hujan memang deras sekali di Bogor”, lanjutku. “Sampai-sampai, Aku dan teman-temanku kesulitan ‘tuk menghadiri rapat Tim Riset karena kesulitan ‘tuk menuju lokasi rapat di sekret Lawalata IPB, Dramaga”. “Rapat yang dijadwalkan jam 19.00, akhirnya perlu kami “kalibrasi ulang” sampai +/- jam 20.30 tuk menunggu hujan reda”. “Untung saja Muslich Sang Koordinator Riset tetap semangat dan terus memotivasi kami ‘tuk tetap hadir pada rapat tersebut”. “Walaupun hanya dihadiri oleh kami berempat (Aku; Muslich; Annas; dan Aan), namun rapat masih dapat dikategorikan berjalan lancar, dengan agenda diskusi tentang “kondisi kesehatan” Mbah Tjiliwoeng di Pulo Geulis”.
Loh..., ini udah sampe Dramaga ya??? Kita balik ke Kebun Raya lagi yuk!!!"...hehe.
Arus deras, pohon tumbang, tumpukan sampah, bendungan, pagar pembatas, dan pepohonan lebat yang dikurungi pagar, itulah pemandangan bagian paling hilir Sungai Ciliwung di Kebun Raya Bogor. Setelah menaiki tembok-tembok beton bendungan, akhirnya kamipun kini harus rela kembali basah-basahan untuk turun dan menyebrangi sungai. Kami pegangi seluruh perlengkapan termasuk sandal, sepatu, tas, dan seluruh peralatan riset berusaha menjaga agar tidak kebasahan, turun perlahan, lalu berjalan memotong aliran sungai. Setelah kami berhasil menyebrangi sungai, tanpa membuang banyak waktu lagi, kamipun segera mempersiapkan semua peralatan yang meliputi: DO-meter; pH meter; tambang; tali rapia dengan botol aqua; tongkat ukur kedalaman; botol sampel; botol BOD; botol film; pinset; dan tak lupa Lembar Panduan Praktis Bioindikator Kualitas Air Sungai, yang kami fungsikan juga sebagai “alat penarik perhatian orang”...hehe, kayak "susuk" ya???
“Sebentar ya Mbah, kami coba periksa kondisi kesehatan Mbah dulu!!!”. “Coba buka mulutnya yang lebar Mbah...Aaaa…, tahan sebentar ya Mbah, kami coba ukur sekarang...!!!”. Tak lama berselang, akhirnya kondisi Mbah pada stasiun 1 pun berhasil kami ukur. “Ya, sudah selesai Mbah!!!, DO rata-rata Mbah 7,8; pH rata-rata 7,18; dan Suhu rata-rata 24,1 oC”. “Untuk lebar badan sungai 35,75 m; lebar sungai 20,9 m; kecepatan arus rata-rata 0,86 m/s; sedangkan kedalaman rata-rata sungai adalah 56,86 cm”.
“Sekarang, coba Mbah rebahkan badan supaya posisinya lebih rilek, kami mau coba ukur kondisi Mbah sedikit ke arah bagian kepala (stasiun 2)”. “Rilek dan tenang ya Mbah!!!”, kami berusaha mengarahkan. “Ya!!!, untuk bagian ini kondisi DO rata-rata Mbah 8,23; pH rata-rata 7,62; Suhu rata-rata 25,13oC; sedangkan untuk lebar badan sungai 38,36 m; lebar sungai 27 m; kecepatan arus rata-rata 0,75 m/s; dan kedalaman rata-rata sungai adalah 37,43 cm”.
-Tim Riset Tjiliwoeng-
0 Komentar:
Posting Komentar