Senin, Oktober 05, 2009

Turis Jepang mencari Laskar Karung

Share & Comment
Keringat segede2 jagung mengalir deras dari pelipis dan lipatan perut, sesaat setelah sejenak mampu menenangkan diri di Bis Miniarta menuju Depok yg akan membawaku balik ke rumah. Kembali ikutan mulung setelah 2 bulan absen karena malaria tropikana. Emang niat dari rumah ndak akan lama dan mungkin tidak sampe ancrub. Maklum kalo abis sakit jadi ngeri2 kalo mau capek2.

Bener juga. Naik ojeg dari Tugu Kujang. Dia menurunkanku di Jembatan Pemuda. Pulo Geulis mah ieu Bu, sarannya santun. Lamun kantor Kelurahan na mah palih ditu, sambil menunjuk ke seberang jalan. Ada tukang es kelapa muda dan beberapa motor parkir di depannya.

Dengan gagah berani, seperti biasa, aku pun berjalan menuruni tangga, menuju jembatan yg mengantarkanku ke sisi lain dari Sungai Ciliwung, ke rumah2 petak berdempetan uyel2an, ala sempur bgitu deh. Tertegun sejenak melihat kesibukan sungai. Orang mandi atau buang air sambil merendam hampir setengah bagian bawah badannya – yg jadi penasaran kayak apa dinginnya yah, move on.

Tidak kulihat ada baliho besar KPC. Ndak mungkin KPC mulung tanpa masang baliho gede. Itu udah SOP nya begitu. Kusempatkan menikmati pemandangan sungai dari atas jembatan. Tentu saja dengan resiko diliatin orang. Karena memang tuh jembatan alat transportasi penting buat penduduk kampung ini. Jadi orang lalu lalang. Dari mulai ibu2 dasteran yg nyuapin anak, atau mbak cantik SPG counter cosmetic di mall sekitaran.


Kusapa seorang bapak. Ningali anu nuju mulung plastik di ciliwung? Nggak, katanya ngeloyor tidak peduli. Kuputuskan berjalan kembali ke jalan aspal, jalan riau yah, menyusuri sungai ke arah hulu. Ada satu keluarga yg sedang mencuci motor. Kuputuskan menyapa sang ibu yg sedang menggendong anaknya. Agak lebih ramah menjawab. Tapi jawaban yg sama. Mereka tidak tahu. Lebih tepatnya tidak peduli. Sang suami yg belepotan sabun sedikit lebih ramah. Mungkin kasian liat perempuan ‘turis jepang’ (wah seneng tuh si Ejhonski) seperti orang ilang.

Terus berjalan sampai lapangan. Ada kerian ‘pasar malam’ di sana. Kincir angin dan komedi putar. Sayang masih tutup. Kalo ndak, bisa naek dulu, ‘mary goes around’.
Kuamati sekitar. Memang nih sungai bercabang. Menduga-duga apakah mulung dilakukan di sisi sebelah sana. Niatan untuk bertanya ke seorang bapak, urung dilakukan. Dari percakapan telponnya terdengar lebih tersesat dari aku. Tiga orang kucoba telp. Semuanya tidak dijawab. Tentunya mereka sudah ancrub. Een sedang ngelayap di Salatiga. Ternyata! Sekalian ajah ngobrol ama dia yg setelah balik tour de java ndak sempat lapor. Hehe.

Kuyakinkan diri bahwa titik mulung Pulo Geulis memang di seberang jembatan. Selagi jalan, tukang ojek yg tadi menyapa ramah. Udah ketemu orang mulungnya Bu? Ada seorang anak laki2 yg kemudian kutanyai. Dia berusaha membantu dengan menceritakan ciri2 yg kayaknya lebih mirip tukang kredit. Rambut na gondrong tah sebahu, mawa ransel oge kitu, sambil menunjuk ke ransel yg kupakai. Tuh kaditu kahandap. Dia pun menunjukkan jalan sambil kuikuti dari belakang, menuruni sejumlah anak tangga dibuat dari batu bata, curam menuju ke sungai. Kuhentikan langkah ku karena di depanku ada 3 orang laki2 yg sedang asik mandi. Sebuah mata air kecil mengalir di pancuran bambu.

Keluarga pencuci motor. Sang bapak menyapa ku ramah. Mungkin lebih karena kasihan. Si ibu lebih membantu kali ini. Dia menyarankanku untuk terus saja menyeberang jembatan dan pergi ke sisi sungai yg sebelah sana. Padang Beunghar katanya.

Setelah berjalan menyusuri gang, menajamkan insting saat memutuskan mau belok kiri atau kanan, akhirnya kutemukan jembatan kedua. Kulihat baliho besar KPC. Senangnya. Tapi perjalanan nyasar ku pagi ini yg sekaligus menjadi kampanye terselubung, belum berakhir. Karena beberapa pertanyaan ke orang yg lewat membuatku merasa sakit. Betapa nge-gampanginnya orang2 kita ini. Tah tinggal muter aja. Dan kulihat di depan mata dua buah gang kecil diantara rumah2 berdempet2. Gang ini tidak bisa dengan mudah dikenali. Percayalah aku masih harus berjalan menyusuri gang, berbelok, nemu jalan aspal, nanya ke ibu2, masuk ke gang yg cuman muat buat jalan satu orang dan satu solokan air got. Sebelum bisa melihat sebuah jalan aspal, dead end.
Kita harus mengubah mindset kita dan menyesuaikan diri dengan mereka. Orang2 ini tidak pernah pergi jauh dari cubicle nya. Jadi tidak pernah bisa membayangkan bagaimana sebaiknya memberi petunjuk untuk gang kecil seperti labirin ini. Dan betapa belibetnya gang-gang di daerah ini.Pagi ini aku hanya berkesempatan mulung sebentar saja. Tidak sampe penuh karung sampah ku. Selain karena udah punya janji lain. Juga kombinasi dengan rasa jijik yg memuncak full sampai ke ubun2. Suguhan pertama saat kutemukan titik mulung. kombinasi sampah plastik, tempe busuk, ampas kelapa, pampers yg menggembung karena tentu ada isinya, lalat hijau dan ‘pisang goreng’ mengambang bertebaran. ada 50 anak manusia ancrub di tangga pulo geulis. anak2 gembira berenang di pagi yg indah, ibu2 mencuci baju, laki2 mandi, beberapa orang plus membawa ayam jagonya sambil diusap2, abg yg sedang curhat diantara batu2 gede yg memang terasa hangat kena matahari pagi. kalo sungai begitu pentingnya buat manusia, kenapa masih buang sampah ke sini?

Begitulah yg harus kita lakukan. Ubah mind set kita. Pake cara berpikir kita untuk memahami mereka. Emang udah dari sononya kalo sungai memang tempat membuang. Anehnya projek2 besar pengelolaan air seperti enggan menyentuh sisi itu. Kegiatan2 yg jauh dari mengubah perilaku masyarakat untuk tidak membuang sampah ke sungai. Coba tolong bantu sebutkan jika memang ada!

Pagi ini lebih tepat aku melakukan kampanye terselubung. Kubuat orang2 itu merasa heran, ada turis jepang masuk kampung. Kuajak mereka berempati betapa susahnya menemukan titik mulung Pulo Geulis. Kubiarkan mereka mendengarkan ocehanku tentang besarnya baliho KPC dan semua simbol dan ajakan agar turut serta menjaga sungai. Alih2 berterimakasih, mereka malah mengeluarkan pandangan aneh penuh tanda tanya kepada sang turis jepang. Biarlah. Kita coba lagi minggu depan dengan metoda lain yg lebih kreatif. Semoga hari ini aku berbuat baik untuk kelestarian Sungai Ciliwung. Bagaimana dengan anda, apa yg anda lakukan hari ini untuk sungai mu?

cerita jujur ini dibuat oleh Rita Mustikasari alias Itok sang "turis Jepang"
Tags:

Komunitas Peduli Ciliwung Bogor berdiri sejak Maret 2009. Komunitas yang menginginkan adanya rasa kepedulian terhadap keberlangsungan sungai Ciliwung di Kota Bogor. 

2 Komentar:

itok si turis jepang mengatakan...

tanpa sengaja aku belajar satu hal dari mulung kali ini. bagaimana menemukan metode kreatif untuk mengajak orang sadarkan diri. tentunya ada banyak cara. tantangan untuk tetap kreatif. tapi poinnya harus memahami cara berpikir mereka. dan menyesuaikan pilihan kegiatan dengan kondisi itu.

gampang ngomongnya. susah prakteknya. tapi baik jika segera dimulai. seberapa kecil pun langkah itu.

ucapan salut buat sang penggagas mulung KPC. sebuah passion yg lahir memang dari orang2 yg hidup dengan alam.

Moes Jum mengatakan...

Bu Itok seringkali sebut2 kata "ancrub" apa sih itu artinya? Bahasa apa yaa?

 

Artikel Populer

Tjiliwoeng on Facebook

Copyright © KOMUNITAS PEDULI CILIWUNG BOGOR | Designed by Templateism.com | Published by GooyaabiTemplates.com