posting ini dituliskan oleh Rita Mustikasari
Setelah beberapa kali absen, baru pagi ini lagi ikutan mulung. Memutus
mata rantai kebiasaan memang tidak mudah. Segala sesuatunya memang
berdasar pada ‘kebiasaan’ yg kemudian membentuk satu ‘pola hidup’.
Kalau udah biasa mulung, rasanya tidak enak kalo absen terus-menerus.
Tapi kalau biasa absen, juga tidak enak untuk kembali memulai lagi
mulung. Ah ini hanya catatan kecil di satu Sabtu pagi, yg berisi
kerinduan untuk melihat bagaimana penggunaan barang publik terjadi di
negeri ini.
Surprise-surprise melihat ada sekelompok manusia yg ‘menempati’ kolong
Jembatan Sempur (Jl Jalak Harupat). Mereka membuat beberapa paku untuk
menggantungkan baju di sepanjang kolong jembatan. Ada sebuah cermin
berbingkai plastik berwarna emas mencolok diantara kekumuhan bebatuan
penyusun dinding kolong. Ada beberapa perempuan muda usia duduk-duduk
di pinggiran sungai. Beberapa laki-laki sudah berumur agak menjauh
dari kerumunan. Mereka bersigap mengawasi kehadiran kami yg asik
memulung sampah plastik. Beberapa pemancing asik masyik di pinggiran
sungai pinggir lapangan sempur, serius menunggui umpannya dimakan
ikan.
Kata Agung, itu kelompok gipsi. Walau aku menyangsikan melihat
tampilan mereka, utamanya 2 atau 3 orang perempuan yg cukup resik. Si
Teh Titi yg memang asli rumahnya di Lebak Kantin memberi informasi
lebih mengejutkan. Biasanya itu orang-orang nakal. Kalau malam tiba,
beberapa perempuan akan keluar ‘herang’ (mengkilap) dari kolong
jembatan itu. Memang lokasi yg murah untuk ‘begituan’. Sering juga
saat transaksi terjadi, digerebek sama Satpol PP. Tapi tetap aja balik
lagi ke situ. Seorang Bapak dari Lebak Kantin juga, yg baru bersiap
turun kali untuk mancing, tidak peduli dengan kehadiran kelompok gipsi
atau juga KPC. Tatap matanya menyelidik dan tidak banyak yg diucapkan.
Sepertinya dia baru pertama kali juga bertemua orang KPC dan sempat
sedikit tersipu sewaktu kita beritahu soal kemenangan kelompok Lebak
Kantin saat lomba mulung Piala Walikota.
Ada lebih daru 15 karung yg berhasil kami kumpulkan hari ini. Beberapa
kali poto narsis, lebih karena menyenangkan hati Jhonski yg sedang
bergiat dengan keahlian potografinya. Dan beberapa diskusi kecil;
ruwatan untuk Ultah KPC tgl 15 Maret, perubahan jenis aktivitas
setelah setahun penuh mulung, Rubi-Aan-Harun dan Anas dari kelompok
MSP, dan tentang Ajun dari Rangkas Bitung yg bantuin Teh Titi.
Mungkin memang benar, aktivitas mulung seperti ini bermanfaat lebih
untuk komunitas KPC saja. Sampah di kolong Jembatan Sempur masih tetap
banyak saja. Orang datang hilir mudik dengan kepentingannya sendiri.
Para pelajar berseragam pramuka melewati jembatan dengan gagahnya. Dan
air Sungai Ciliwung pun tetap coklat mengalir membawa sampah plastik
jauh sampai ke hilir sana. Bagaimana caranya memutus rantai kebiasaan
manusia Indonesia agar tidak membuang sampah ke sungai?
Setelah beberapa kali absen, baru pagi ini lagi ikutan mulung. Memutus
mata rantai kebiasaan memang tidak mudah. Segala sesuatunya memang
berdasar pada ‘kebiasaan’ yg kemudian membentuk satu ‘pola hidup’.
Kalau udah biasa mulung, rasanya tidak enak kalo absen terus-menerus.
Tapi kalau biasa absen, juga tidak enak untuk kembali memulai lagi
mulung. Ah ini hanya catatan kecil di satu Sabtu pagi, yg berisi
kerinduan untuk melihat bagaimana penggunaan barang publik terjadi di
negeri ini.
Surprise-surprise melihat ada sekelompok manusia yg ‘menempati’ kolong
Jembatan Sempur (Jl Jalak Harupat). Mereka membuat beberapa paku untuk
menggantungkan baju di sepanjang kolong jembatan. Ada sebuah cermin
berbingkai plastik berwarna emas mencolok diantara kekumuhan bebatuan
penyusun dinding kolong. Ada beberapa perempuan muda usia duduk-duduk
di pinggiran sungai. Beberapa laki-laki sudah berumur agak menjauh
dari kerumunan. Mereka bersigap mengawasi kehadiran kami yg asik
memulung sampah plastik. Beberapa pemancing asik masyik di pinggiran
sungai pinggir lapangan sempur, serius menunggui umpannya dimakan
ikan.
Kata Agung, itu kelompok gipsi. Walau aku menyangsikan melihat
tampilan mereka, utamanya 2 atau 3 orang perempuan yg cukup resik. Si
Teh Titi yg memang asli rumahnya di Lebak Kantin memberi informasi
lebih mengejutkan. Biasanya itu orang-orang nakal. Kalau malam tiba,
beberapa perempuan akan keluar ‘herang’ (mengkilap) dari kolong
jembatan itu. Memang lokasi yg murah untuk ‘begituan’. Sering juga
saat transaksi terjadi, digerebek sama Satpol PP. Tapi tetap aja balik
lagi ke situ. Seorang Bapak dari Lebak Kantin juga, yg baru bersiap
turun kali untuk mancing, tidak peduli dengan kehadiran kelompok gipsi
atau juga KPC. Tatap matanya menyelidik dan tidak banyak yg diucapkan.
Sepertinya dia baru pertama kali juga bertemua orang KPC dan sempat
sedikit tersipu sewaktu kita beritahu soal kemenangan kelompok Lebak
Kantin saat lomba mulung Piala Walikota.
Ada lebih daru 15 karung yg berhasil kami kumpulkan hari ini. Beberapa
kali poto narsis, lebih karena menyenangkan hati Jhonski yg sedang
bergiat dengan keahlian potografinya. Dan beberapa diskusi kecil;
ruwatan untuk Ultah KPC tgl 15 Maret, perubahan jenis aktivitas
setelah setahun penuh mulung, Rubi-Aan-Harun dan Anas dari kelompok
MSP, dan tentang Ajun dari Rangkas Bitung yg bantuin Teh Titi.
Mungkin memang benar, aktivitas mulung seperti ini bermanfaat lebih
untuk komunitas KPC saja. Sampah di kolong Jembatan Sempur masih tetap
banyak saja. Orang datang hilir mudik dengan kepentingannya sendiri.
Para pelajar berseragam pramuka melewati jembatan dengan gagahnya. Dan
air Sungai Ciliwung pun tetap coklat mengalir membawa sampah plastik
jauh sampai ke hilir sana. Bagaimana caranya memutus rantai kebiasaan
manusia Indonesia agar tidak membuang sampah ke sungai?
0 Komentar:
Posting Komentar