Selasa, Oktober 17, 2017

Cerita Ciliwung, Antara Soleh Iskandar-Kedunghalang

Share & Comment
Penulis: Suparno Jumar
Salah satu jenis sampah Ciliwung (foto: Suparno Jumar)

Beberapa hari terakhir, hujan  mengguyur Puncak, Bogor. Tak terkecuali  arah hilir. Curah hujan relatif tinggi dengan waktu cukup lama. Selokan dari jalan, pemukiman, komplek perkantoran, sekolah, airnya masuk ke sungai. Persoalannya adalah ketika air yang mengalir dari selokan membawa 'oleh-oleh' aneka sampah dari hulu, tengah dan hilir Ciliwung. Aku penasaran. Apa yang terjadi di sana?
***
Ini sepenggal rekamanku menyusuri Ciliwung. Perjalanan dimulai dari jembatan Soleh Iskandar. Aku turun dari sebelah barat jembatan di sisi utara. Begitu turun, aku sudah menjumpai seorang wanita membuang sampah ke dalam sungai. Sampah ini sedikit berserakan di pinggir sungai, tepat di sisi timur rumah. 
Bangunan rumah memanjang diatas tebing yang berbatasan langsung dengan sungai. Pada saat aku berada di sungai, pandangan ke arah utara. Aliran air mengalir datar. Arah selatan adalah jembatan Soleh Iskandar dan jalan tol Lingkar Luar Bogor (BORR) berdiri dengan kokohnya. Di sini, aku rasatempat nyaman untuk menikmati sungai pada pagi dan sore hari. Tentu saja tanpa sampah yang mengganggu dan air yang jernih.
Perlahan aku susuri aliran Ciliwung ke arah utara. Dengan mengenakan sandal gunung, celana pendek sedengkul, kaos dan rompi serta topi. Tak lupa power bank dan kabel USB, bila sewaktu-waktu baterai gawai ngedrop.
Waktu baru menunjukan pukul 09.47, memang cukup terik. Aku berjalan perlahan sambil waspada. Maklum, dasar sungai cukup licin. Sudah tidak terkira jumlah sampah sisa kemasan plastik. Kemasan itu ada yang masih nampak baru dan lama. Ada yang di darat dengan tersangkut akar dan rerumputan. Di dalam air tersangkut diantara celah-celah batu.  Berjalan dari bagian sungai sebelah barat. Sisi timur tidak memungkinkan. Sisi timur aliran airnya deras dan berbatasan dinding bangunan.
Sesekali mataku tertuju pada dasar pohon-pohon.  Sampah ini terbawa arus saat air meluap dan menyangkut. Saya berjalan perlahan. Sebisa mungkin aku rekam susuri sungai ini. Sekitar 200 meter jalan, aku menemui batu besar dan satu-satunya. Kemudian rerimbunan rumpun bambu dengan bawahnya jejak bekas pengumpul penambang pasir batu.
Sekitar 30 menit menyusuri Ciliwung, aku menemui titik menarik.  Lokasinya tepat dibawah jalur pipa distribusi PDAM Kota Bogor. Di sini aliran yang semula lebar, kemudian menciut. Lebarnya tak lebih dari 1 meter. Aliran sangat deras. Batuan cadas tak beraturan menambah kuat alam Ciliwung. Di sekitarnya teduh karena berada dibawah naungan pohon Loa. Beberapa orang pemancing diam membisu sambik sesekali menghisap  rokok kretek. Mereka sabar menunggu kail disambar ikan. Semoga saja bukan sampah Ciliwung yang nyangkut. Satu sofa warna biru mengambang dipinggir sungai. Dua sofa lagi dibuang diantara ranting dan puing. Satu spingbed juga teronggok tak jauh dari sofa. Waduhhh... Ini bener-bener nyata.
Singgasana yang terbuang
Singgasana yang terbuang
Agak deg-deg-an juga pas di sini. Saya coba melompati celah aliran ke sisi timur sungai. Kalau kepeleset, duhh. Malu! Tapi takut juga kalo kecebur dan keselip batu. Aduhh... Amit-amit. Aku habiskan waktu sekitar 15 menit di sini.
Lanjut ke arah utara dari sisi timur sungai, lewati tepi sungai. Karena sendirian, setelah akses  agak sulit, saya memilih naik ke darat. Perjalanan dilanjutkan melewati jalan komplek Graha Indah. Sesekali aku lewati dinding sungai yang dibuat rata. Taman dengan beberapa jenis tanaman nampak agak terawat. Dinding-dinding ini dibuat rata pada bagian atas. Aku hanya dapat bayangkan, suatu saat kelak, sisi-sisi sungai menjadi ruang terbuka dengan taman-taman. Siapapun bisa menikmati semilir angin sungai kapan saja. Mungkinkah ini? Entahlah. Yang jelas ke arah utara, beberapa bangunan berdiri tepat di atas dinding sungai. Ciliwung belum menjadi halaman depan.
Pada satu titik persimpangan, aku berbelok kiri arah TPS di kebun kosong. TPS ini nampak bersih dari sampah. Sepertinya, sampah-sampah baru diangkut ke TPA. Aku ikuti jalan hingga sampai pinggi sungai lagi. Rumpun bambu dan tanaman lain membuat adem siang itu. Sampah-sampah mencengkeram erat pada akar-akar bambu dan pohon Loa. Kaki terus melangkah ke utara. Hingga sampai pada titik sungai terbelah dua. Ada darat sedikit yang diapit dua lairan sungai. Di sini beberapa penambang pasir dan batu memetik rejeki. Beberapa titik tumpukan batu dan pasir berpencar di tanah kosong. 
Satu orang laki-laki usia sekitar 50-an tahun duduk didalam saung dari berata plastik terpal. Sambil tersenyum ke arahku, ia menunjukan kotak plastik berisi bekal makan siang. Saya balas senyuman dengan ucapan. "Mangga, pak!. Sementara dua orang lagi sedang asyik menikmati kopi di tepi kali sambil istirahat. Ahhh... Saya hanya bisa berandai-andai. Kaki terus melangkah menyusuri pinggir sungai. 
Hingga mataku tertarik pada sekelomopok anak-anak yang bermain di bawah pohon Loa. Mereka rupanya sedang akan mandi sambil bermain. Mungkin tidak ada pilihan lain kenapa mereka maain dan mandi di sungai. Mereka malu ketika didekati. Ahhhh, biarlah kataku dalam hati. Aku jadi teringat masa kecil itu. Tiga puluh tahun lalu.
Pohon Loa dan Anak Sungai
Pohon Loa dan Anak Sungai
Kaki aku terus aku langkahkan. Tak terasa, sudah cukup jauh aku melangkah. Sayup-sayup terdengar suara Adzan Dzuhur dari pinggir sungai. Aku segera bergegas ke tepi jalan menunggu jemputan.

Bogor, 15 Oktober 2017
Tags: , ,

Komunitas Peduli Ciliwung Bogor berdiri sejak Maret 2009. Komunitas yang menginginkan adanya rasa kepedulian terhadap keberlangsungan sungai Ciliwung di Kota Bogor. 

0 Komentar:

 

Artikel Populer

Tjiliwoeng on Facebook

Copyright © KOMUNITAS PEDULI CILIWUNG BOGOR | Designed by Templateism.com | Published by GooyaabiTemplates.com