Saya datang pagi2 ke lokasi kumpul. Di samping jembatan Kedung Badak, Jalan Baru tepatnya. Karena masih pagi, lumayan lah saya habiskan waktu menunggu teman2 lain dengan menikmati kopi dan buras di warung rokok terdekat. Sembari juga memperhatikan kesibukan kendaraan yang melintas. Memperhatikan orang2 di kendaraan yang sibuk mengisi acara akhir minggu. Ada yang berolahraga sepeda. Ada yang siap berwisata. Ada yang berangkat kerja. Dan tak ketinggalan serombongan kendaraan yang berisi mereka2 berpakaian batik yang akan menghadiri acara pernikahan.
Waktu mulung tiba … saya langsung menuju lokasi mulung tepat di bawah jembatan itu. Hari Kikuk datang tergopoh2 dengan motornya. Seperti biasa motornya memuat karung2 plastik dan banner besar KPC. “Maaf pak … aku gak enak badan, jadi terlambat nih“, kata si Kikuk berusaha memberikan penjelasan.
Memang … sepertinya sekarang sedang musim flu. Saya pun merasakan badan meriang dan hidung tersumbat saat bangun tidur tadi pagi. Beruntung gejala flu tersebut berangsur menghilang seiring semakin tingginya matahari pagi.
“Jadi kita berdua aja nih mulungnya …”, ucap saya pada Kikuk. “Kayaknya sih begitu pak … biasa lah mungkin teman2 saat ini sedang punya kesibukan yang tidak bisa ditinggalkan“, timpal Kikuk berusaha menjelaskan.
Dalam menit2 awal, kami berdua sempat memperhatikan beberapa aktivitas orang sekitar dari bawah jembatan. Di seberang ada 2 orang yang sibuk mengambil pasir. Di badan air ada orang yang sibuk menebar jalanya, berharap dapat ikan selain jenis sapu-sapu. Sementara tak jauh dari lokasi kami berdiri seorang pengamen “topeng monyet” mempersiapkan peralatan dan monyetnya. Ia bersiap untuk mengamen berkeliling di perumahan2 terdekat.
Beberapa saat kemudian kami berdua pun sudah tenggelam dalam keasikan mulung di Ciliwung. Saya memilih berbasah ria menaklukan beberapa anakonda yang tersangkut pada kawat2 pondasi jembatan. Sementara Kikuk memilih tepian sungai yang kering. Di sela aktivitas kami, seorang warga setempat mengajak kami bercakap2. Ia menyalahkan warga yang masih saja membuang sampah ke sungai. Ia juga berharap Pemerintah Kota bisa membantu membersihkan sungai. Semuanya berisi keluh kesah serta opini pribadinya. Ia terus saja mengajak bicara di tengah kesibukan kami memungut sampah. Sayang semuanya hanya pembicaraan belaka. Ia tak hendak membantu mengotori tangannya dengan sampah. Ia hanya berkata-kata. Sementara kami berdua kotor dan bau karena sampah di sana.
Selama 2 jam mulung, beberapa kali kami melihat kantong2 plastik berisi sampah yang jatuh (dilemparkan) dari atas jembatan. Kantong2 tersebut mendarat dengan keras di permukaan air Ciliwung. “Paaaaakkk …!!!” Rupanya tempat ini tak hanya menjadi tempat tersangkutnya sampah dari daerah hulu. Tapi juga menjadi tempat pembuangan sampah langsung. Rasanya kami berdua tidak melihat plang apapun di sekitar sungai dan jembatan yang bertuliskan “Tempat Pembuangan Sampah”.
Selain kejadian itu, kami berdua ternyata menjumpai kejadian yang serupa tapi tak sama. Kali ini sampahnya bukan dilemparkan. Kami melihat seorang ibu yang dengan ringan menumpahkan isi keranjang sampahnya ke aliran Ciliwung. Tidak ada efek suara yang keras, namun hasilnya sama saja … Ciliwung dianggap tempat sampah. Tak ada rasa malu apalagi was-was. Pembuangan sampah dilakukan tanpa beban. Ibu itu pun tidak menunjukkan rasa bersalah sama sekali. Ia melakukannya dengan nyaman sekali. Bahkan sampai ketika saya memotretnya [lihat gambar].
Mungkin dunia sudah berubah. Budaya bersih hanya diterapkan pada ruang sempit di dalam rumah atau kamar. Yang penting kamar atau rumah bersih dari sampah, di luar batas itu wallahu ‘alam. Sementara jika sungai terlanjur penuh sampah, tanggung jawab untuk membersihkannya bukan lah pada semua orang yang memiliki sungai. Petugas kebersihan dan pemerintah lah yang harus membersihkan. Selain itu … mungkin hanya orang gila dan aneh yang punya minat dan mau melakukannya. Karena sungai memang “tempat pembuangan sampah”, walau tak ada plang atau papan pengumumannya.
Waktu mulung tiba … saya langsung menuju lokasi mulung tepat di bawah jembatan itu. Hari Kikuk datang tergopoh2 dengan motornya. Seperti biasa motornya memuat karung2 plastik dan banner besar KPC. “Maaf pak … aku gak enak badan, jadi terlambat nih“, kata si Kikuk berusaha memberikan penjelasan.
Memang … sepertinya sekarang sedang musim flu. Saya pun merasakan badan meriang dan hidung tersumbat saat bangun tidur tadi pagi. Beruntung gejala flu tersebut berangsur menghilang seiring semakin tingginya matahari pagi.
“Jadi kita berdua aja nih mulungnya …”, ucap saya pada Kikuk. “Kayaknya sih begitu pak … biasa lah mungkin teman2 saat ini sedang punya kesibukan yang tidak bisa ditinggalkan“, timpal Kikuk berusaha menjelaskan.
Dalam menit2 awal, kami berdua sempat memperhatikan beberapa aktivitas orang sekitar dari bawah jembatan. Di seberang ada 2 orang yang sibuk mengambil pasir. Di badan air ada orang yang sibuk menebar jalanya, berharap dapat ikan selain jenis sapu-sapu. Sementara tak jauh dari lokasi kami berdiri seorang pengamen “topeng monyet” mempersiapkan peralatan dan monyetnya. Ia bersiap untuk mengamen berkeliling di perumahan2 terdekat.
Beberapa saat kemudian kami berdua pun sudah tenggelam dalam keasikan mulung di Ciliwung. Saya memilih berbasah ria menaklukan beberapa anakonda yang tersangkut pada kawat2 pondasi jembatan. Sementara Kikuk memilih tepian sungai yang kering. Di sela aktivitas kami, seorang warga setempat mengajak kami bercakap2. Ia menyalahkan warga yang masih saja membuang sampah ke sungai. Ia juga berharap Pemerintah Kota bisa membantu membersihkan sungai. Semuanya berisi keluh kesah serta opini pribadinya. Ia terus saja mengajak bicara di tengah kesibukan kami memungut sampah. Sayang semuanya hanya pembicaraan belaka. Ia tak hendak membantu mengotori tangannya dengan sampah. Ia hanya berkata-kata. Sementara kami berdua kotor dan bau karena sampah di sana.
Selama 2 jam mulung, beberapa kali kami melihat kantong2 plastik berisi sampah yang jatuh (dilemparkan) dari atas jembatan. Kantong2 tersebut mendarat dengan keras di permukaan air Ciliwung. “Paaaaakkk …!!!” Rupanya tempat ini tak hanya menjadi tempat tersangkutnya sampah dari daerah hulu. Tapi juga menjadi tempat pembuangan sampah langsung. Rasanya kami berdua tidak melihat plang apapun di sekitar sungai dan jembatan yang bertuliskan “Tempat Pembuangan Sampah”.
Selain kejadian itu, kami berdua ternyata menjumpai kejadian yang serupa tapi tak sama. Kali ini sampahnya bukan dilemparkan. Kami melihat seorang ibu yang dengan ringan menumpahkan isi keranjang sampahnya ke aliran Ciliwung. Tidak ada efek suara yang keras, namun hasilnya sama saja … Ciliwung dianggap tempat sampah. Tak ada rasa malu apalagi was-was. Pembuangan sampah dilakukan tanpa beban. Ibu itu pun tidak menunjukkan rasa bersalah sama sekali. Ia melakukannya dengan nyaman sekali. Bahkan sampai ketika saya memotretnya [lihat gambar].
Mungkin dunia sudah berubah. Budaya bersih hanya diterapkan pada ruang sempit di dalam rumah atau kamar. Yang penting kamar atau rumah bersih dari sampah, di luar batas itu wallahu ‘alam. Sementara jika sungai terlanjur penuh sampah, tanggung jawab untuk membersihkannya bukan lah pada semua orang yang memiliki sungai. Petugas kebersihan dan pemerintah lah yang harus membersihkan. Selain itu … mungkin hanya orang gila dan aneh yang punya minat dan mau melakukannya. Karena sungai memang “tempat pembuangan sampah”, walau tak ada plang atau papan pengumumannya.
2 Komentar:
keren juga kali yaaa kalau sungai jadi tempat pembuangan sampah. tak perlu repot-repot ke tpa para pemulung nyari sampah cukup di tunggu aja di aliran sungai yang ada di sekitarnya. eh tapi kacian yang di hilirnya selalu kebagian baunya dan banjir nya om h eh he h he hhhe rasain loh makanya ingatin tuh yang di hulu nya. kikuk kikuk lah
izin share ya di sini https://www.facebook.com/BikinKotaKitaNyaman?ref=aymt_homepage_panel
Posting Komentar